1.
Pengertian
Banyak
ahli mengemukakan pengertian emfisema, diantaranya:
Menurut Soemantri definisi emfisema secara anatomik adalah “ suatu perubahan
anatomik paru-paru yang ditandai
dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara
bagian distal hingga bronkus
terminal yang disertai dengan kerusakan dinding
alveolus”. ( Soeparman, 1999 : 754)
Menurut Smeltzer emfisema adalah keadaan abnormal pengembangan ruang udara hingga bronkhiolus terminal yang disertai kerusakan dinding alveolus. (Smeltzer, 2000 : 453).
Menurut
Corwin emfisema adalah penyakit
obstruktif kronik akibat
berkurangnya elastisitas paru
dan luas permukaan
alveolus. Kerusakan dapat
terbatas hanya dibagian sentral
lobus, dimana dalam
hal ini yang paling terpengaruh
adalah integritas dinding
bronkhiolus, atau dapat
mengenai bagian paru
secara keseluruhan, yang dapat
menyebabkan kerusakan bronkus
dan alveolus. (Corwin, 2001 : 435).
Dari beberapa pengertian
diatas, dapat diambil
kesimpulan bahwa emfisema paru
adalah suatu keadaan dimana paru-paru
kehilangan daya elastisitasnya karena terjadi pembesaran
yang abnormal dari saluran
udara distal dan adanya kerusakan pada dinding
alveolus. Menurut Price dan Lorvaine
berdasarkan pola asinus yang terserang,
emfisema dibagi menjadi
dua jenis, pertama,
Emfisema Sentry Lobular (CLE), yang hanya
menyerang bronkhiolus respiratorius
atau daerah sentral
sinus, kedua, Emfisema
Pan Labular (DLE) atau Pan
Asinar, dimana alveolus
yang terletak distal dari
bronkiolus terminal mengalami
pembesaran serta kerusakan yang merata. (Price
dan Lorvaine, 1995 : 691 – 692).
2.
Etiologi
Penyebab pasti dari
emfisema belum jelas, tetapi
biasanya timbul setelah
bertahun-tahun merokok. Menurut Soemantri “
faktor utama yang mempengaruhi timbulnya
emfisema paru, yaitu
rokok, infeksi dan polusi.
Selain itu terdapat pula
hubungan dengan faktor
keturunan, status sosial,
dan hipotesis elastase
anti elastase” . (
Soeparman, 1999 : 755).
Menurut Guyton
emfisema paru sering ditemukan karena efek
merokok. Ia disebabkan
oleh dua perubahan fatofisiologi
utama dalam paru-paru.
Pertama, aliran udara
melalui banyak bronkhiolus
tersumbat. Kedua, sebagian besar
dinding alveolus rusak.
(Guyton, 1995 : 379)
Menurut Sutisna ada tiga
faktor yang memegang peranan
penting dalam timbulnya emfisema.
Pertama, kelainan radang
pada bronkus dan bronkhiolus yang sering
disebabkan oleh asap rokok, atau
debu industri yang
banyak. Radang peribrokhiolus disertai
fibrosis menyebabkan iskemia dan
jaringan parut, sehingga memperlemah
dinding bronkhiolus. Kedua, kelainan atrofik
yang meliputi pengurangan
jaringan elastik dan
gangguan aliran darah. Hal ini
memang dapat dijumpai
pada proses menjadi
tua seseorang. Ketiga,
abstruksi inkomplit yang
menyebabkan gangguan pertukaran
udara. Hal ini
dapat disebabkan oleh penebalan dinding
bronkiolus akibat bertambahnya
makrofag (sel debu)
pada penderita yang banyak
merokok pada waktu
inspirasi udara dapat
masuk kealveolis. Waktu ekspirasi
jalan udara menyempit,
sehingga udara sebagian tertahan,
dan hal ini
mengakibatkan pelebaran alveolus
(Sutisna, 1998 : 158).
3.
Patofisiologi
Menurut Lewis merokok dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan
gangguan langsung terhadap saluran
pernafasan. Terjadinya iritasi
merupakan efek dari merokok
yang menyebabkan hiperplasia pada sel-sel
paru dan bertambahnya sel-sel
goblet, yang mana
kemudian berakibat pada
meningkatnya produksi sekret.
Merokok juga menyebabkan
dilatasi saluran udara
distal dengan kerusakan dinding
alveolus (Lewis, 2000 : 682).
Menurut Smeltzer faktor keluarga merupakan salah satu
faktor pendukung terjadinya
emfisema berhubungan dengan tidak normalnya protein
plasma, kekurangan Alpha
1-antitipsin (AAT) yang menghalangi
kerja enzim protease,
orang-orang tertentu dapat
mengalami defisiensi alpha 1-antitripsin yang
diturunkan secara resisif
atosomal. (Smeltzer, 2000:453).
Menurut Cherniack,
“Alpha 1-antitripsin (AAT) adalah
antiprotease, diperkirakan sangat
penting untuk perlindungan
terhadap protease yang terbentuk secara alami.
Protease dihasilkan oleh
bakteria, dan magrofag
sewaktu fagositosis berlangsung
dan mempunyai kemampuan
memecahkan elastin dan makromolekul lain pada jaringan paru.
Merokok dapat mengakibatkan
respon peradangan sehingga
menyebabkan pelepasan enzim
proteolitik (proteose).
Bersamaan dengan itu oksidan
pada asap menghambat alpha
1-antiripsin” ( Price dan
Loraine, 1995 : 692).
Faktor-faktor diatas
kemudian berlanjut pada
proses obstruksi pada saluran
pernafasan, terutama bronkhiolus.
Obstruksi bronkhiolus sangat meningkatkan tahanan
saluran pernafasan dan mengakibatkan sangat
meningkatnya pekerjaan bernafas.
Penderita sangat sulit untuk
mengalirkan udara melalui
bronkhiolus tersebut selama
ekspirasi karena kekuatan kompresi pada bagian
luar paru-paru tidak hanya
mengkompresi alveolus, tetapi juga
mengkompresi bronkhiolus, sehingga lebih meningkatkan tahanannya.
Hilangnya parenkim paru secara
menyolok karena rusaknya dinding paru
sangat menurunkan kapasitas
difusi paru yang mengurangi kemampuan
paru untuk mengoksigenisasi darah
dan untuk membuang karbon
dioksida, sehingga terjadi
hipoksemia, hipoksia dan
hiperkapnea. Rusaknya sebagian besar jaringan paru
juga menurunkan jumlah kapiler paru
yang dapat dialiri darah.
Sebagai akibatnya, tahanan
vaskuler paru meningkat sangat
menyolok, dan menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonalis.
Hal ini kemudian membebani
jantung kanan secara berlebihan dan sering
terjadi payah jantung
kanan, yang pada akhirnya menyebabkan
kor pulmonal.
4.
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala
dari Emfisema paru terdiri dari :
a.
Keluhan
Menurut Sutisna pada emfisema
paru, keluhan utama penderita
adalah sesak nafas, kesulitan mengeluarkan
udara, sehingga harus
banyak mengeluarkan tenaga
untuk ekspirasi, batuk
(berdahak / tidak berdahak) timbul
siang maupun malam hari,
semakin lama semakin berat. Selain itu dapat muncul
keluhan neurologis seperti
sakti kepala, tremor,
kesadaran yang menurun dan bahkan dapat terjadi
koma (Sutisna, 1998 : 158 –
159).
b.
Pemeriksaan Fisik
Menurut Soemantri
“pada stadium awal
tidak ditemukan keluhan fisik, hanya
kadang-kadang terdengar suara
nafas ronkhi pada waktu
ekspirasi dalam. Bila
sesak nafas, akan terdengar
ronkhi pada waktu inspirasi
maupun ekspirasi disertai
bising mengi. Terlihat
overinflasi paru barrel
chest, diameter anterior
posterior dada bertambah.
Pada perkusi terdengar hipersonor, suara nafas
dan jantung lemah disertai
kontraksi pernafasan tambahan”. (
Soeparman, 1999:757).
Menurut Corwin
penurunan pertukaran gas
akibat rusaknya dinding
alveolus, mengakibatkan kecepatan
difusi oksigen dan karbon
dioksida berkurang, yang menimbulkan hipoksemia
dan hiperkapnea. Takipnea terjadi
sebagai akibat dari
hipoksia dan hiperkapnea. Karena
peningkatan kecepatan pernafasan
pada penyakit ini efektif, maka sebagian besar penderita
yang mengalami emfisema
tidak memperlihatkan perubahan
yang bermakna dalam gas
darah arteri sampai penyakit
berada pada tahap lanjut
dimana kecepatan pernafasan
tidak dapat mengatasi hipoksemia
dan hiperkapnea. Akhirnya semua nilai
gas dapat memburuk
dan timbul hipoksia,
hiperkapnea dan asidosis. Susunan
syaraf pusat dapat
tertekan akibat tingginya
kadar karbon dioksida (narkosis karbondioksida). (Corwin,
2001 : 436).
5.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik
yang diperlukan pada
penyakit emfisema paru adalah :
a.
Sinar X dada
Dapat
menyatakan hiperinflasi paru-paru,
mendatarnya diafragma; peningkatan
udara retrosternal, penurunan
tanda vascularisasi dcau bula.
b.
Tes fungsi
paru
Dilakukan
untuk menentukan penyebab dispneu ;
untuk menentukan fungsi
abnormal adalah obstruksi atau
retraksi, untuk
memperkirakan derajat disfungsi
dan untuk mengevaluasi efek terapi.
c.
Kapasitas inspirasi : menurun
pada emfisema
d.
Volume residu : meningkat
pada emfisema
e.
GDA
Memperkirakan progresi proses penyakit
kronis, misalnya Pa CO2 meningkat
atau normal, PaO2 menurun,
pH normal atau
asidosis alkalosis respiratorik
ringan yang berhubungan dengan hiperventilasi dan
hipoksemia.
f.
Bronkogram
Dapat
menunjukkan dilatasi
silindris bronkus pada
inspirasi, dan kolaps bronkhial
pada ekspirasi kuat.
g.
Kimia darah
Pemeriksaan
kadar Alpha 1-antitripsin
dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema
primer.
h.
Sputum
Kultur
dilakukan untuk menentukan adanya
infeksi ; mengidentifikasi
patogen ; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui adanya keganasan atau gangguan
alergi.
i.
EKG
Deviasi
aksis kanan ; peninggian gelombang
P pada lead II,
III, AVF, aksis
vertikal QRS. (Doenges,
1999 : 155).
6.
Penatalaksanaan Medis
Pengobatan emfisema
ditujukan untuk
menghilangkan gejala dan
mencegah memburuknya keadaan
penderita. Pengobatan emfisema paru
dapat dibagi atas :
a.
Penyuluhan kesehatan
b.
Pencegahan : berhenti
merokok, menghindari lingkungan
polusi, vaksinasi.
c.
Pengelolaan sehari-hari : pemberian
bronkadilator,
kartikosteroid, ekspektoran atau
antitusif.
d.
Fisioterapi dan
rehabilitasi.
e.
Pemberian oksigen
jangka panjang.
f.
Pengelolaan bersihan
jalan nafas untuk
memaksimalkan pertukaran gas
pada paru.
g.
Pengelolaan eksaserbasi
akut, kegagalan pernafasan
dan kor pulmonal.
BTinjauan Teoritis
Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Emfisema
1.
Pengkajian
a.
Aktivitas dan
Istirahat
Gejala : Keletihan, kelelahan,
malaise, ketidakmampuan untuk
tidur dalam posisi duduk
tinggi, dispnea pada saat istirahat
akan respon terhadap
aktivitas atau latihan.
Tanda : Keletihan, gelisah,
insomnia, kelelahan umum atau
kehilangan massa otot.
b.
Sirkulasi
Gejala : Pembengkakan pada
ekstrimitas bawah.
Tanda : Peningkatan Tekanan
Darah.
Peningkatan
frequensi jantung atau
kakikardia berat
Distensi
vena leher (penyakit
berat).
Edema
dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan
peningkatan diameter AP
dada). Warna kulit/membran mokusa : normal
atau abu-abu, sianosis, kuku
tabuh dan sianosis
perifer pusat menunjukkan anemia.
c.
Integritas Ego
Gejala : Peningkatan faktor
resiko.
Tanda : Ansietas, ketakutan,
dan peka rangsangan.
d.
Makanan / Cairan
Gejala : Mual/muntah, nafsu
makan buruk/anoreksia penurunan
berat badan.
Tanda : Turgor kulit
buruk, berkeringat, penurunan berat badan serta penurunan masa otot / lemak
subkutan.
e.
Hygiene
Gejala : Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan,
bantu makanan, dan
aktivitas sehari-hari.
Tanda : Kebersihan buruk,
bau badan.
f.
Pernafasan
Gejala : Nafas pendek (timbulnya tersembunyi
dengan dipsneu sebagai gejala
menonjol pada emfisema).
Episode
batuk hilang timbul, biasanya
tidak produktif pada tahap dini,
meskipun dapat menjadi
produktif. Faktor keluarga
dan keturunan, misalnya defisiensi
alpha 1-antitripsin
penggunaan oksigen pada
malam hari atau terus menerus.
Tanda : Pernafasan :
biasanya cepat, dapat
lambat : fase ekspirasi
memanjang dengan mendengkur,
nafas bibir. Penggunaan otot bantu
pernafasan, misalnya : meninggikan
bahu, rekraksi fosa
supra klavikula, melebarkan hidung.
Dada :
dapat terlihat hiperinflasi
dengan peninggian diameter AP (bentuk
barrel), atau perbandingan diameter. AP sama
dengan diameter bilateral,
gerakan diafragma minimal.
Bunyi
nafas : mungkin redup
dengan ekspirasi mengi.
Perkusi :
Hipersonor pada area paru.
Warna :
klien dengan emfisema kadang
disebut “pink puffer” karena
warna kulit normal,
meskipun pertukaran gas tidak
normal dan frequensi
pernafasan cepat. Taktil
premitus melemah.
g.
Keamanan
Gejala : Riwayat reaksi
alergi atau sensitif
terhadap zat/faktor
lingkungan.
Adanya/berulangnya infeksi.
h.
Interaksi Sosial
Gejala : Hubungan ketergantungan, kurang
sistem pendukung. Kegagalan
dukungan dari/terhadap pasangan/orang terdekat. Penyakit
lama atau ketidak mampuan membaik.
Tanda : Ketidakmampuan untuk
membuat/mempertahankan suara
karena distres pernafasan
keterbatasan mobilitas fisik.
Kelalaian hubungan dengan
anggota keluarga lain.
2.
Diagnosa Keperawatan
a.
Bersihan jalan nafas
tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental
dan berlebih.
Kemungkinan ditandai
dengan : pernyataan
kesulitan bernafas, perubahan
kedalaman / kecepatan pernafasan,
penggunaan otot aksesori.
Bunyi nafas
tidak normal mengi ronhki
kreakles. Batuk dengan/tanpa
sputum.
b.
Kerusakan pertukaran
gas berhubungan dengan adanya
jebakan pada paru dan
kerusakan pada alveoli.
Kemungkinan ditandai
dengan : Dipsneu, bingung, gelisah, perubahan tanda vital, nilai GDA
tidak normal (hipoksemia dan hiperkapnea)
dan penurunan toleransi aktivitas.
c.
Perubahan Nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual/muntah.
Kemungkinan ditandai
dengan : Penurunan berat badan, kehilangan massa otot,
tonus otot buruk, kelemahan, keengganan untuk makan, kurang tertarik
dengan makanan.
d.
Resiko tinggi
terhadap infeksi berhubungan
dengan proses penyakit
kronis, mal nutrisi.
e.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, tindakan berhubungan dengan kurang
informasi.
Kemungkinan ditandai
dengan : Pertanyaan tentang informasi penyakitnya
f.
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan keletihan dan
ketidak adekuatan oksigen untuk aktivitas.
Kemungkinan ditandai
dengan : Nafas pendek, lemah, kelelahan dengan aktivitas fisik minimal
untuk aktivitas sehari-hari, takipneu
dengan aktivitas fisik minimal.
g.
Gangguan pola
tidur berhubungan dengan batuk,
rangsang lingkungan.
Kemungkinan ditandai
dengan : Klien tampak lelah dan mengantuk, tampak lingkungan hitam disekitar mata.
3.
Rencana Asuhan
Keperawatan
a.
Bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan
dengan sekresi yang kental dan berlebih.
1).
Intervensi Mandiri
a).
Kaji / pantau frequensi
pernafasan
Rasional :
Takipneu
biasanya ada pada proses
infeksi akut, pernafasan
dapat melambat dan frequensi ekspirasi
memanjang dibanding inspirasi.
b).
Auskultasi bunyi
nafas.
Rasional :
Bunyi
nafas ronkhi menunjukkan adanya penyumbatan
saluran nafas oleh sekresi.
c).
Dorong latihan
nafas abdomen atau
bibir.
Rasional :
Memberikan
klien cara untuk mengatasi
dan mengontrol dispneu dan menurunkan jebakan
udara.
d).
Pertahankan polusi
lingkungan minimum (debu,
asap, bulu bangkai)
Rasional :
Polusi
udara seperti asap dan debu
dapat mengiritasi saluran
pernafasan dan dapat menambah
produksi mokus.
e).
Berikan posisi
yang nyaman, pertahankan
potensi jalan nafas.
Rasional :
Posisi
yang nyaman memungkinkan klien
rileks dan memudahkan klien bernafas.
f).
Observasi karakteristik
batuk, misalnya : menetap, batuk pendek,
Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan
upaya batuk.
Rasional :
Batuk
dapat menetap tapi
tidak efektif, khususnya bila
klien lansia, sakit akut
atau kelemahan. Batuk
paling efektif pada posisi
duduk tinggi atau kepala
dibawah setelah perkusi
dada.
g).
Tingkatkan masukan
cairan sampai 3000
ml/hari sesuai toleransi
jantung. Berikan air
hangat.
Rasional :
Hidrasi membantu menurunkan
kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran. Penggunaan cairan hangat dapat
menurunkan spasme bronkus.
2).
Intervensi Kolaborasi
a).
Berikan obat
sesuai indikasi : bronkodilator, analgesik,
antitusif, ekspektoran.
Rasional :
Bronkodilator untuk merelekskan otot
halus dan menurunkan spasme jalan nafas,
analgesik, antitusif atau
ekspekkoran diberikan karena adanya
batuk menetap yang melelahkan perlu
ditekan untuk menghemat energi.
b).
Berikan bantuan
fisioterapi dada.
Rasional :
Fisioterapi
dada dilakukan untuk
membuang banyak sekresi dan memperbaiki ventilasi
pada segmen dasar paru.
c).
Awasi seri
GDA, dan foto
dada.
Rasional :
Sebagai
dasar pengawasan
kemajuan/kemunduran proses penyakit dan
kompilasi.
b.
Kerusakan pertukaran Gas berhubungan dengan adanya jebakan udara pada
paru dan kerusakan pada alveoli.
1).
Intervensi Mandiri
a).
Kaji frequensi
kedalaman pernafasan catat
penggunaan otot bantu nafas,
nafas bibir.
Rasional :
Berguna
dalam evaluasi derajat distres
pernafasan dan/atau kronisnya proses
penyakit.
b).
Kaji/awasi secara rutin
warna kulit dan membran mokusa.
Rasional :
Sianosis
mungkin perifer atau
sentral mengindikasikan
beratnya hipoksemia.
c).
Tinggikan kepala bantu
klien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas, dorong nafas
dalam perlahan atau nafas
bibir sesuai kebutuhan
individu.
Rasional :
Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan
latihan nafas untuk menurunkan
kolaps jalan nafas dan kerja
nafas.
d).
Auskultasi bunyi nafas,
catat area penurunan aliran udara atau
bunyi abnormal.
Rasional :
Bunyi
nafas mungkin redup karena
penurunan aliran udara. Adanya mengindikasi
spasme bronkus/tertahannya
sekret.
e).
Awasi tingkat
kesadaran/status mental.
Rasional :
Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia. GDA memburuk
disertai bingung/samnolen menunjukkan
disfungsi serebral yang berhubungan
dengan hipoksemia.
f).
Palpasi fremitus.
Rasional :
Penurunan
getaran fibrasi diduga
adanya pengumpulan cairan atau udara
terjebak.
2).
Intervensi Kolaborasi
a).
Awasi GDA.
Rasional :
PaCO2 biasanya
meningkat dan PaO2 secara umum
menurun, sehingga hipoksemia
terjadi dengan derajat lebih besar
atau lebih kecil.
b).
Berikan O2
tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil
GDA dan toleransi pasien.
Rasional :
Dapat
memperbaiki/mencegah
memburuknya hipoksia.
c).
Bantu intubasi
Rasional :
Terjadinya/kegagalan nafas
yang akan datang memerlukan upaya tindakan
penyelamatan hidup.
c.
Perubahan Nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual/muntah.
1).
Intervensi Mandiri
a).
Kaji kebiasaan
diet, masukan makanan,
catat derajat kesulitan
makan. Evaluasi berat badan.
Rasional :
Pasien distres pernafasan akut
sering anoreksia karena dispneu, produksi
sputum dan obat, selain
itu banyak klien PPOM
mempunyai kebiasaan makan buruk.
Orang yang mengalami emfisema
sering kurus dengan perototan kurang.
b).
Auskultasi bunyi
bising usus.
Rasional :
Penurunan/hipoaktif bising
usus menunjukkan mobilitas
gaster dan konstipasi (komplikasi umum)
yang berhubungan dengan pilihan
makan yang buruk, penurunan aktivitas
dan hipoksemia.
c).
Berikan perawatan
oral sering, buang
sekret.
Rasional :
Rasa
tak enak bau dan penampilan
adalah pencegah utama terhadap nafsu
makan dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan
nafas.
d).
Dorong periode
istirahat selama 1 jam sebelum
dan sesudah makan. Berikan makanan posisi kecil
tapi sering.
Rasional :
Membantu
menurunkan kelemahan selama waktu
makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatan masukan kalori total.
e).
Hindari makanan
yang sangat panas atau
sangat dingin.
Rasional :
Suhu ekstrim
dapat mencetuskan/meningkatkan
spasme batuk.
2).
Intervensi Kolaborasi
a).
Konsul ahli
gizi/nutrisi untuk
memberikan makanan yang mudah dicerna, secara
nutrisi seimbang.
Rasional :
Metode
makan dan kebutuhan
kalori berdasarkan pada situasi/kebutuhan individu
untuk memberikan nutrisi maksimal
dengan upaya klien/penggunaan energi.
b).
Kaji pemeriksaan
laboratorium. Berikan vitamin/mineral/ elektolit sesuai
indikasi.
Rasional :
Mengevaluasi/mengatasi kekurangan
dan keefektifan tetap nutrisi.
c).
Beri O2
tambahan selama makan
sesuai indikasi.
Rasional :
Menurunkan dispneu dan meningkatkan energi
untuk makan.
d.
Resiko tinggi
terhadap infeksi berhubungan
dengan proses penyakit kronis ;
mal nutrisi.
1).
Intervensi Mandiri
a).
Awasi secara
ketat suhu tubuh
pasien.
Rasional :
Demam
dapat terjadi karena adanya infeksi.
b).
Kaji pentingnya
latihan nafas, batuk
efektif, perubahan posisi
sering dan masukan
cairan adekuat.
Rasional :
Aktivitas diatas dapat meningkatkan mobilitas dan pengeluaran sekret untuk
menurunkan resiko terjadinya
infeksi paru.
c).
Observasi warna,
karakter, bau sputum.
Rasional :
Sekret
berbau, kuning dan
kehijauan menunjukkan adanya
infeksi paru.
d).
Dorong keseimbangan
antara aktivitas dan istirahat.
Rasional :
Menurunkan
konsumsi/kebutuhan keseimbangan
oksigen dan memperbaiki pertahanan
klien terhadap infeksi
meningkatkan penyembuhan.
e).
Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi
adekuat.
Rasional :
Malnutrisi
dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
2).
Intervensi Kolaborasi
a).
Dapatkan spesimen
sputum dengan batuk atau
penghisapan untuk pewarnaan kuman,
gram, kultur sensitivitas.
Rasional :
Dilakukan
untuk mengidentifikasi
organisme penyebab dan kerentanan terhadap
berbagai anti mikrobial.
b).
Berikan antimikrobial/antibiotik sesuai
indikasi.
Rasional :
Dapat
diberikan pada organisme khusus yang terindentifikasi dengan kultur
dan sensitivitas, atau
diberikan secara profilatik karena resiko
tinggi.
e.
Kurang pengetahuan (kebutuhan pelajar)
mengenai kondisi. Tindakan berhubungan dengan kurang
informasi
1).
Intervensi Mandiri
a).
Jelaskan/kuatkan penjelasan
proses penyakit individu.
Rasional :
Menurunkan
menguatkan otot pernafasan,
dan meminimalkan kolaps jalan
nafas.
b).
Instruksikan/kuatkan rasional
untuk latihan nafas dan batuk
efektif.
Rasional :
Membantu
menguatkan otot pernafasan,
dan meminimalkan kolaps jalan
nafas.
c).
Anjurkan menghindari
agen sedatif anti
ansietas kecuali diresepkan
oleh dokter untuk mengobati kondisi
pernafasan.
Rasional :
Meskipun
pasien mungkin gugup
dan merasa perlu sedatif, ini dapat menekan
pernafasan dan melindungi mekanisme batuk.
d).
Kaji efek
bahaya merokok dan nasehatkan menghentikan
rokok pada pasien dan/atau
orang terdekat.
Rasional :
Penghentian
merokok dapat memperlambat/menghambat kemajuan
PPOM. Namun meskipun
pasien ingin menghentikan
merokok, diperlukan kelompok
pendukung dan pengawasan medik.
(Doenges,
1999 : 152 – 163).
f.
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan keletihan dan ketidak
adekuatan oksigen untuk
aktivitas.
1).
Intervensi Mandiri
a).
Jelaskan aktivitas
dan faktor yang meningkatkan
kebutuhan oksigen : merokok,
suhu yang ekstrim,
stres.
Rasional :
Merokok
suhu ekstrim, dan stress
menyebabkan vasokontriksi yang
meningkatkan beban kerja
jantung dan kebutuhan oksigen.
b).
Secara bertahap tingkatkan aktivitas harian
sesuai peningkatan toleransi klien.
Rasional :
Mempertahankan pernafasan
lambat sedang dari
latihan yang diawasi
memperbaiki kekuatan otot
asesori dan fungsi
pernafasan.
c).
Pertahankan terapi
oksigen tambahan, sesuai
kebutuhan.
Rasional :
Oksigen
tambahan meningkatkan kadar
oksigen yang bersirkulasi dan memperbaiki toleransi
aktivitas.
d).
Berikan dukungan
emosional dan semangat.
Rasional :
Rasa
takut terhadap kesulitan
bernafas dapat menghambat peningkatan
aktivitas.
g.
Gangguan pola
tidur berhubungan dengan
batuk, rangsang lingkungan.
1).
Intervensi :
a).
Kaji penyebab
ganguan tidur
Rasional :
Dengan
diketahui penyebab gangguan tidur sehingga mudah menentukan intervensi
yang tepat untuk mengatasinya.
b).
Diskusikan perbedaan
individu dalam kebutuhan tidur berdasarkan : usia,
tingkat aktivitas, gaya hidup,
dan tingkat stres.
Rasional :
Rekomendasi
yang umum untuk tidur
8 jam tiap malam nyatanya
tidak mempunyai dasar
ilmiah. Individu yang dapat
rileks dan istirahat dengan mudah
memerlukan sedikit tidur
untuk merasa segar kembali.
Dengan pertambahan usia, waktu
tidur total secara umum
menurun khususnya pada tidur
yang paling dalam dimana metabolisme
dan gelombang otak lambat.
c).
Anjurkan klien
untuk relaksasi.
Rasional :
Tidur
akan sulit dicapai
sampai tercapai relaksasi.
Lingkungan rumah sakit dapat mengganggu relaksasi.
d).
Bila diinginkan
tinggikan kepala tempat tidur
atau gunakan penopang dengan bantal
dibawah lengan.
Rasional :
Dapat
meningkatkan relaksasi dan tidur
dengan memberi ruang pada paru-paru
lebih besar pengembangan melalui
menurunkan tekanan keatas
organ abdominal.
e).
Lakukan tindakan
untuk mengontrol batuk, hindari
memberikan cairan terlalu
panas atau dingin
saat akan tidur.
Rasional :
Tindakan
ini membantu mencegah rangsang
batuk dan gangguan tidur.
4.
Evaluasi
a.
Bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan
dengan sekresi yang kental dan berlebih.
Evaluasi :
1).
Klien mempertahankan kepatenan
jalan nafas dengan bunyi nafas
bersih.
2).
Perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas, misalnya : batuk
efektif dan mengeluarkan sputum/sekret.
b.
Kerusakan pertukaran
gas berhubungan dengan adanya
jebakan udara pada paru dan
kerusakan pada alveoli.
Evaluasi :
1).
Perbaikan ventilasi
dan oksigenisasi jaringan yang adekuat
dengan GDA yang normal dan bebas
gejala distres pernafasan.
c.
Perubahan nutrisi :
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksi, mual/muntah.
Evaluasi :
1).
Adanya peningkatan
berat badan menuju tujuan yang
tepat.
2).
Menunjukkan
perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan atau mempertahankan berat
yang tepat.
d.
Resiko tinggi
terhadap infeksi berhubungan
dengan proses penyakit kronis,
mainutrisi.
Evaluasi :
1).
Pemahaman penyebab/faktor resiko
individu.
2).
Kemampuan klien
mengindentifikasi intervensi untuk mencegah/ menurunkan resiko
penyakit.
e.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai
kondisi, tindakan berhubungan dengan kurang informasi.
Evaluasi :
1).
Pemahaman klien
tentang kondisi/proses penyakit
dan tindakan.
2).
Klien mampu
mengidentifikasi tanda dan gejala
dari penyakitnya serta faktor
penyebabnya.
3).
Adanya perubahan
pola hidup dan partisipasi dalam program
pengobatan.
(Doenges,
1999 : 152 – 163)
f.
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan keletihan dan
ketidak adekuatan oksigen untuk aktivitas.
Evaluasi :
1).
Klien memperagakan metode bernafas
dan penghematan energi yang efektif.
2).
Klien mengindentifikasi tingkat
aktivitas yang realitas untuk dicapai
atau dipertahankan.
3).
Menurunnya keluhan
tentang nafas pendek
dan lemah dalam melaksanakan aktivitas.
g.
Gangguan pola tidur
berhubungan dengan batuk, rangsang
lingkungan.
Evaluasi :
1).
Klien melaporkan
kepuasan akan keseimbangan
istirahat dan aktivitas.
(Corpenito,
1998 : 112 – 116)
5.
Dokumentasi
a.
Tanda-tanda vital.
b.
Bunyi nafas
yang menunjukkan bersihan jalan nafas.
c.
Perkembangan keefektifan
batuk dan gambaran
sputum.
d.
Nilai GDA warna
kulit dan membran mokusa.
e.
Perubahan berat
badan.
f.
Intake dan output
Px.
g.
Hematologi (nilai
lekosit).
h.
Tingkat aktivitas
klien, dan respon
psikologis terhadap aktivitas.
i.
Pada tidur
klien dan evaluasi klien
tentang kuantitas dan kualitas
tidur.
j.
Penyuluhan pada klien.
KEPUSTAKAAN
Copstead, Lee-Ellen C, 2000, Pathophisiology :
Biological and Behavioral Perspektifves, Edisi 2, Philadelphia : W. B.
Sounders Company.
Corwin, Elizabeth J, 2001, Buku Saku Patofisiologi,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doenges, Marilynn E, et al, 1999, Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien,
Edisi 3, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Guyton, Artgur C, 1995, Fisiologi Manusia dan
Mekanisme Penyakit, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lewis, Sharon Mantik, et al, 2000, Medical
Surgical Nursing : Assesment and Menegement of Clinical Problems, Edisi 1,
St. Louis : CV. Mosby Company.
Price, Sylvia A, dan Lorvaine, MW, 1995, Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Buku 2, Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Priharjo, Robert, 1997, Pemeriksaan Fisik
Keperawatan, Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare, 2000, Textbook
Of Medical Surgical Nursing, Edisi 9, Philadelphia : Lippicott
Soeparman, dkk, 1999, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid 1, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomik FKUI, 1998, Patologi,
Jakarta : Bagian patologi Anatomi FKUI.
Sutisna, Himawan,
1998, Patologi, Jakarta : Bagian Patologi Anatomik FKUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar