Selasa, 10 Juli 2012

Asuhan Keperawatan Emfisema


1.        Pengertian
Banyak ahli mengemukakan pengertian emfisema, diantaranya:
Menurut Soemantri definisi emfisema  secara anatomik  adalah “ suatu  perubahan  anatomik paru-paru  yang  ditandai  dengan melebarnya  secara abnormal  saluran  udara  bagian distal  hingga  bronkus  terminal  yang disertai  dengan kerusakan  dinding  alveolus”.  ( Soeparman,  1999 : 754)

Menurut Smeltzer emfisema  adalah  keadaan  abnormal  pengembangan  ruang udara  hingga  bronkhiolus  terminal  yang disertai  kerusakan  dinding  alveolus.  (Smeltzer,  2000 : 453).
Sedangkan menurut WHO “ emfisema  adalah gangguan  pengembangan  paru yang ditandai   oleh pelebaran  ruang udara  didalam paru-paru,  disertai  dengan destruksi  jaringan”. (Sutisna,  1998 : 157).
Menurut Corwin emfisema  adalah  penyakit  obstruktif  kronik  akibat  berkurangnya  elastisitas  paru  dan  luas  permukaan  alveolus.  Kerusakan  dapat  terbatas  hanya  dibagian  sentral  lobus,   dimana  dalam  hal ini  yang paling  terpengaruh  adalah  integritas  dinding  bronkhiolus,  atau  dapat  mengenai  bagian  paru  secara  keseluruhan,  yang dapat  menyebabkan  kerusakan  bronkus  dan alveolus.  (Corwin,  2001 : 435).
Dari  beberapa  pengertian  diatas,  dapat  diambil  kesimpulan  bahwa emfisema  paru  adalah  suatu keadaan dimana  paru-paru  kehilangan  daya  elastisitasnya  karena terjadi  pembesaran  yang abnormal  dari  saluran  udara distal  dan adanya  kerusakan pada  dinding  alveolus.    Menurut  Price dan Lorvaine berdasarkan pola  asinus yang  terserang,  emfisema  dibagi  menjadi  dua  jenis,  pertama,  Emfisema  Sentry  Lobular (CLE),  yang hanya  menyerang  bronkhiolus  respiratorius  atau  daerah  sentral  sinus,  kedua,  Emfisema  Pan Labular (DLE)  atau  Pan  Asinar,  dimana  alveolus  yang terletak  distal  dari  bronkiolus  terminal  mengalami  pembesaran  serta  kerusakan yang merata.  (Price  dan  Lorvaine,  1995 : 691 – 692).

2.        Etiologi
Penyebab pasti  dari  emfisema  belum jelas,  tetapi  biasanya  timbul     setelah  bertahun-tahun  merokok. Menurut Soemantri  “ faktor  utama  yang mempengaruhi  timbulnya  emfisema  paru,  yaitu  rokok,  infeksi  dan polusi.  Selain itu  terdapat  pula  hubungan dengan faktor  keturunan,  status  sosial,  dan  hipotesis  elastase  anti  elastase” .  (  Soeparman,  1999 : 755).

Menurut Guyton emfisema  paru  sering ditemukan  karena efek  merokok.  Ia  disebabkan  oleh dua  perubahan  fatofisiologi  utama dalam paru-paru.  Pertama,  aliran  udara  melalui  banyak  bronkhiolus  tersumbat.  Kedua, sebagian  besar  dinding  alveolus  rusak.  (Guyton,  1995 : 379)

Menurut Sutisna ada  tiga  faktor  yang memegang peranan penting  dalam timbulnya  emfisema.  Pertama,  kelainan  radang  pada  bronkus  dan bronkhiolus  yang sering  disebabkan  oleh asap  rokok, atau  debu  industri  yang  banyak.  Radang  peribrokhiolus  disertai  fibrosis  menyebabkan  iskemia dan  jaringan parut,  sehingga  memperlemah  dinding  bronkhiolus.  Kedua, kelainan  atrofik  yang  meliputi   pengurangan  jaringan elastik  dan gangguan  aliran darah.   Hal ini  memang  dapat  dijumpai  pada  proses  menjadi  tua  seseorang.  Ketiga,  abstruksi  inkomplit  yang  menyebabkan  gangguan  pertukaran  udara.  Hal  ini  dapat  disebabkan  oleh penebalan  dinding  bronkiolus  akibat  bertambahnya  makrofag  (sel  debu)  pada  penderita yang  banyak  merokok  pada  waktu  inspirasi  udara  dapat  masuk kealveolis.  Waktu  ekspirasi  jalan  udara  menyempit,  sehingga  udara sebagian  tertahan,  dan  hal  ini  mengakibatkan  pelebaran  alveolus  (Sutisna, 1998 : 158). 

3.        Patofisiologi
Menurut Lewis merokok dalam jangka waktu  yang lama dapat  mengakibatkan  gangguan  langsung terhadap  saluran  pernafasan.  Terjadinya  iritasi  merupakan  efek  dari merokok  yang menyebabkan  hiperplasia  pada sel-sel  paru  dan bertambahnya  sel-sel  goblet,  yang  mana  kemudian  berakibat  pada  meningkatnya  produksi  sekret.  Merokok  juga  menyebabkan  dilatasi  saluran  udara  distal  dengan kerusakan  dinding  alveolus (Lewis, 2000 : 682).

Menurut Smeltzer faktor  keluarga merupakan  salah satu  faktor  pendukung  terjadinya  emfisema  berhubungan dengan  tidak normalnya  protein  plasma,  kekurangan  Alpha  1-antitipsin (AAT)  yang  menghalangi  kerja  enzim  protease,  orang-orang  tertentu  dapat  mengalami  defisiensi  alpha 1-antitripsin  yang  diturunkan  secara  resisif  atosomal.  (Smeltzer, 2000:453).

Menurut Cherniack, “Alpha  1-antitripsin (AAT)  adalah  antiprotease,  diperkirakan  sangat  penting  untuk  perlindungan  terhadap  protease  yang terbentuk  secara alami.  Protease  dihasilkan  oleh  bakteria,  dan  magrofag  sewaktu  fagositosis  berlangsung  dan mempunyai kemampuan  memecahkan  elastin  dan makromolekul lain pada jaringan  paru.  Merokok  dapat  mengakibatkan  respon  peradangan  sehingga  menyebabkan  pelepasan  enzim  proteolitik (proteose).  Bersamaan  dengan itu  oksidan  pada asap  menghambat  alpha  1-antiripsin” (  Price  dan  Loraine,  1995 : 692).

Faktor-faktor  diatas  kemudian  berlanjut  pada  proses  obstruksi  pada saluran  pernafasan,   terutama  bronkhiolus.   Obstruksi  bronkhiolus  sangat meningkatkan  tahanan  saluran  pernafasan  dan mengakibatkan  sangat  meningkatnya  pekerjaan  bernafas.  Penderita  sangat  sulit untuk  mengalirkan  udara  melalui  bronkhiolus  tersebut  selama  ekspirasi  karena  kekuatan kompresi pada  bagian  luar  paru-paru  tidak hanya  mengkompresi  alveolus, tetapi juga mengkompresi bronkhiolus, sehingga lebih meningkatkan  tahanannya.   Hilangnya  parenkim paru  secara  menyolok  karena rusaknya  dinding paru  sangat  menurunkan  kapasitas  difusi  paru  yang mengurangi  kemampuan  paru  untuk  mengoksigenisasi  darah  dan untuk  membuang  karbon  dioksida,  sehingga  terjadi  hipoksemia,   hipoksia  dan  hiperkapnea.  Rusaknya  sebagian besar  jaringan paru  juga menurunkan  jumlah  kapiler paru  yang  dapat dialiri  darah.  Sebagai  akibatnya,  tahanan  vaskuler  paru meningkat  sangat  menyolok,  dan  menyebabkan  terjadinya  hipertensi  pulmonalis.  Hal ini  kemudian  membebani  jantung  kanan  secara berlebihan  dan sering  terjadi  payah  jantung  kanan,  yang pada akhirnya  menyebabkan  kor  pulmonal.

4.         Tanda  dan Gejala
 Tanda dan  gejala  dari  Emfisema paru terdiri  dari :
a.    Keluhan
Menurut Sutisna pada  emfisema  paru,   keluhan utama  penderita  adalah sesak  nafas,        kesulitan  mengeluarkan  udara,  sehingga  harus  banyak  mengeluarkan  tenaga  untuk  ekspirasi,  batuk  (berdahak / tidak  berdahak)  timbul  siang  maupun  malam hari,  semakin  lama  semakin berat.   Selain itu dapat  muncul   keluhan  neurologis  seperti  sakti  kepala,  tremor,  kesadaran  yang menurun  dan bahkan dapat  terjadi  koma (Sutisna,   1998 : 158 – 159).

b.   Pemeriksaan  Fisik 
Menurut Soemantri “pada  stadium  awal  tidak  ditemukan  keluhan fisik,    hanya  kadang-kadang  terdengar  suara  nafas  ronkhi  pada waktu  ekspirasi  dalam.  Bila  sesak nafas,  akan  terdengar  ronkhi  pada waktu  inspirasi  maupun  ekspirasi  disertai  bising  mengi.   Terlihat  overinflasi  paru  barrel  chest, diameter  anterior posterior  dada  bertambah.  Pada  perkusi  terdengar hipersonor,  suara nafas  dan jantung  lemah  disertai  kontraksi  pernafasan  tambahan”. (  Soeparman,  1999:757).

Menurut Corwin penurunan  pertukaran  gas  akibat  rusaknya  dinding  alveolus,  mengakibatkan  kecepatan  difusi  oksigen  dan karbon  dioksida  berkurang,  yang menimbulkan  hipoksemia  dan hiperkapnea.  Takipnea  terjadi  sebagai  akibat  dari  hipoksia  dan hiperkapnea.   Karena  peningkatan  kecepatan  pernafasan  pada  penyakit  ini efektif, maka  sebagian besar  penderita  yang  mengalami  emfisema  tidak memperlihatkan  perubahan yang  bermakna  dalam gas  darah  arteri sampai  penyakit  berada pada  tahap  lanjut  dimana  kecepatan  pernafasan  tidak dapat  mengatasi  hipoksemia  dan hiperkapnea.   Akhirnya  semua nilai  gas  dapat  memburuk  dan  timbul  hipoksia,  hiperkapnea  dan asidosis.   Susunan  syaraf  pusat  dapat  tertekan  akibat  tingginya  kadar  karbon  dioksida (narkosis  karbondioksida).  (Corwin,  2001 : 436).

5.        Pemeriksaan  Diagnostik
 Pemeriksaan   diagnostik  yang  diperlukan  pada  penyakit  emfisema paru  adalah :
a.        Sinar  X  dada
Dapat  menyatakan  hiperinflasi  paru-paru,  mendatarnya  diafragma;  peningkatan  udara  retrosternal,  penurunan  tanda  vascularisasi  dcau bula.
b.        Tes  fungsi  paru
Dilakukan  untuk menentukan  penyebab  dispneu ;  untuk  menentukan  fungsi  abnormal  adalah obstruksi  atau  retraksi, untuk  memperkirakan  derajat  disfungsi  dan untuk mengevaluasi  efek  terapi. 
c.        Kapasitas  inspirasi         :   menurun  pada  emfisema
d.       Volume  residu               :   meningkat  pada emfisema
e.        GDA
Memperkirakan  progresi proses  penyakit  kronis,  misalnya  Pa  CO2  meningkat  atau  normal,  PaO2  menurun,  pH  normal  atau  asidosis  alkalosis  respiratorik  ringan yang  berhubungan  dengan hiperventilasi  dan  hipoksemia.
f.         Bronkogram
Dapat  menunjukkan dilatasi  silindris   bronkus  pada  inspirasi,  dan kolaps  bronkhial  pada ekspirasi  kuat.
g.        Kimia  darah
Pemeriksaan  kadar  Alpha  1-antitripsin  dilakukan untuk meyakinkan  defisiensi  dan diagnosa  emfisema  primer.
h.        Sputum
Kultur  dilakukan untuk  menentukan  adanya  infeksi ;  mengidentifikasi patogen ;  pemeriksaan  sitolitik untuk mengetahui  adanya keganasan atau  gangguan  alergi.
i.          EKG
Deviasi   aksis kanan ;   peninggian  gelombang  P  pada lead  II,  III,  AVF,  aksis  vertikal  QRS.  (Doenges,  1999 :  155).
                                                                                  
6.        Penatalaksanaan  Medis
Pengobatan  emfisema  ditujukan  untuk menghilangkan  gejala  dan  mencegah  memburuknya  keadaan  penderita. Pengobatan  emfisema paru  dapat  dibagi atas :
a.        Penyuluhan  kesehatan
b.        Pencegahan :  berhenti  merokok,  menghindari  lingkungan  polusi,  vaksinasi.
c.        Pengelolaan sehari-hari :  pemberian  bronkadilator,  kartikosteroid,  ekspektoran  atau  antitusif.
d.       Fisioterapi  dan  rehabilitasi.
e.        Pemberian  oksigen  jangka  panjang.
f.         Pengelolaan  bersihan  jalan  nafas  untuk  memaksimalkan  pertukaran  gas  pada paru.
g.        Pengelolaan  eksaserbasi  akut,  kegagalan  pernafasan  dan kor  pulmonal.  

BTinjauan  Teoritis  Asuhan  Keperawatan  Klien  Dengan Emfisema
1.        Pengkajian
a.        Aktivitas  dan  Istirahat
Gejala      :   Keletihan,  kelelahan,  malaise,  ketidakmampuan untuk tidur  dalam posisi  duduk  tinggi,  dispnea pada saat  istirahat  akan  respon  terhadap  aktivitas  atau  latihan.
Tanda      :   Keletihan,  gelisah,  insomnia,  kelelahan  umum atau  kehilangan  massa  otot.    
b.        Sirkulasi               
Gejala      :   Pembengkakan  pada  ekstrimitas  bawah.
Tanda      :   Peningkatan  Tekanan  Darah.
                    Peningkatan  frequensi  jantung  atau  kakikardia  berat
                    Distensi  vena  leher  (penyakit  berat).
                    Edema  dependen, tidak  berhubungan  dengan penyakit  jantung.  Bunyi  jantung  redup (yang berhubungan dengan peningkatan  diameter  AP  dada).  Warna  kulit/membran mokusa :  normal  atau abu-abu,  sianosis,  kuku  tabuh  dan  sianosis  perifer  pusat  menunjukkan anemia.
c.        Integritas  Ego      
Gejala      :   Peningkatan  faktor  resiko.
Tanda      :   Ansietas,  ketakutan,  dan  peka  rangsangan.
d.       Makanan / Cairan        
Gejala      :   Mual/muntah,  nafsu  makan  buruk/anoreksia  penurunan  berat  badan.
Tanda      :   Turgor  kulit  buruk,  berkeringat,  penurunan berat badan serta  penurunan masa  otot / lemak  subkutan.
e.        Hygiene                 
Gejala      :   Penurunan  kemampuan/peningkatan  kebutuhan,  bantu  makanan,  dan  aktivitas  sehari-hari.
Tanda      :   Kebersihan  buruk,  bau  badan. 
f.         Pernafasan              
Gejala      :   Nafas  pendek (timbulnya  tersembunyi  dengan dipsneu  sebagai  gejala  menonjol  pada  emfisema).
                    Episode  batuk  hilang timbul,  biasanya  tidak produktif  pada tahap  dini,  meskipun  dapat  menjadi  produktif.  Faktor  keluarga  dan keturunan,  misalnya  defisiensi  alpha 1-antitripsin  penggunaan  oksigen  pada  malam hari  atau terus  menerus.
Tanda      :   Pernafasan  :  biasanya  cepat,  dapat  lambat :  fase  ekspirasi  memanjang  dengan mendengkur, nafas bibir.  Penggunaan otot bantu pernafasan,  misalnya : meninggikan bahu,  rekraksi  fosa  supra klavikula,  melebarkan  hidung.
                    Dada :  dapat  terlihat  hiperinflasi  dengan peninggian  diameter  AP (bentuk  barrel),  atau  perbandingan diameter. AP  sama   dengan  diameter  bilateral,  gerakan  diafragma  minimal.
                    Bunyi  nafas :  mungkin  redup  dengan ekspirasi  mengi.
                    Perkusi :  Hipersonor  pada area paru.
                    Warna :  klien dengan emfisema kadang  disebut “pink  puffer”  karena  warna  kulit  normal,  meskipun pertukaran  gas  tidak  normal  dan  frequensi  pernafasan  cepat.     Taktil  premitus  melemah.
g.        Keamanan               
Gejala      :   Riwayat  reaksi  alergi  atau  sensitif  terhadap zat/faktor  lingkungan.  Adanya/berulangnya  infeksi.
h.        Interaksi  Sosial
Gejala      :   Hubungan  ketergantungan,  kurang  sistem  pendukung.  Kegagalan  dukungan  dari/terhadap  pasangan/orang terdekat.  Penyakit  lama  atau  ketidak mampuan membaik.
Tanda      :   Ketidakmampuan  untuk  membuat/mempertahankan suara  karena  distres  pernafasan  keterbatasan  mobilitas  fisik.  Kelalaian  hubungan  dengan  anggota  keluarga  lain.

2.        Diagnosa  Keperawatan
a.        Bersihan  jalan nafas  tidak efektif  berhubungan  dengan sekresi  yang kental  dan berlebih.
Kemungkinan  ditandai  dengan    :       pernyataan  kesulitan  bernafas,  perubahan  kedalaman / kecepatan  pernafasan, penggunaan otot aksesori.
                                                        Bunyi  nafas  tidak  normal  mengi ronhki  kreakles.  Batuk  dengan/tanpa  sputum.
b.        Kerusakan  pertukaran  gas  berhubungan  dengan adanya  jebakan pada paru  dan kerusakan  pada alveoli.
Kemungkinan  ditandai  dengan    :       Dipsneu, bingung, gelisah, perubahan tanda vital, nilai GDA tidak normal (hipoksemia dan hiperkapnea)  dan penurunan  toleransi  aktivitas.     
c.        Perubahan Nutrisi : kurang  dari  kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,  mual/muntah.
Kemungkinan  ditandai  dengan    :       Penurunan berat badan, kehilangan massa  otot,  tonus otot buruk, kelemahan, keengganan untuk makan, kurang  tertarik  dengan makanan.   
d.       Resiko  tinggi  terhadap  infeksi  berhubungan  dengan proses  penyakit kronis,  mal  nutrisi.
e.        Kurang  pengetahuan (kebutuhan belajar)  mengenai kondisi,  tindakan berhubungan  dengan kurang  informasi.
Kemungkinan  ditandai  dengan    :       Pertanyaan tentang informasi penyakitnya
f.         Intoleransi  aktivitas  berhubungan  dengan keletihan dan ketidak adekuatan oksigen  untuk  aktivitas.
Kemungkinan  ditandai  dengan    :       Nafas pendek, lemah, kelelahan dengan aktivitas fisik minimal untuk aktivitas  sehari-hari, takipneu dengan aktivitas  fisik  minimal.                   
g.        Gangguan  pola  tidur  berhubungan  dengan batuk,  rangsang  lingkungan.
Kemungkinan  ditandai  dengan    :       Klien  tampak  lelah dan mengantuk, tampak  lingkungan hitam disekitar mata.
                                                   
3.        Rencana  Asuhan  Keperawatan
a.        Bersihan  jalan  nafas  tidak efektif  berhubungan  dengan sekresi  yang kental  dan berlebih.
1).      Intervensi  Mandiri
a).     Kaji / pantau  frequensi  pernafasan
Rasional :
Takipneu  biasanya  ada  pada proses  infeksi  akut,  pernafasan  dapat melambat  dan frequensi  ekspirasi  memanjang  dibanding  inspirasi.
b).     Auskultasi  bunyi  nafas.
Rasional :
Bunyi  nafas  ronkhi  menunjukkan adanya  penyumbatan  saluran nafas  oleh  sekresi.
c).     Dorong  latihan  nafas  abdomen  atau  bibir.
Rasional :
Memberikan  klien  cara untuk  mengatasi  dan mengontrol  dispneu  dan menurunkan  jebakan  udara.
d).    Pertahankan  polusi  lingkungan  minimum  (debu,  asap,  bulu  bangkai)
Rasional :
Polusi  udara  seperti  asap dan debu  dapat mengiritasi  saluran pernafasan dan  dapat  menambah  produksi  mokus.
e).     Berikan  posisi  yang nyaman,  pertahankan potensi  jalan nafas.
Rasional :
Posisi  yang nyaman memungkinkan klien  rileks  dan  memudahkan klien  bernafas.
f).      Observasi  karakteristik  batuk,  misalnya :  menetap, batuk  pendek,  Bantu  tindakan  untuk memperbaiki  keefektifan  upaya  batuk.
Rasional :
Batuk  dapat  menetap  tapi  tidak efektif,  khususnya  bila  klien lansia,  sakit  akut  atau  kelemahan.  Batuk  paling  efektif  pada posisi  duduk tinggi  atau  kepala  dibawah  setelah  perkusi  dada.
g).     Tingkatkan  masukan  cairan  sampai  3000  ml/hari  sesuai  toleransi  jantung.  Berikan  air  hangat.
Rasional :
Hidrasi membantu  menurunkan  kekentalan  sekret,  mempermudah pengeluaran.  Penggunaan cairan hangat  dapat  menurunkan  spasme bronkus.
2).      Intervensi  Kolaborasi
a).     Berikan  obat  sesuai  indikasi : bronkodilator,  analgesik,  antitusif,  ekspektoran.
Rasional :
Bronkodilator  untuk merelekskan  otot  halus  dan menurunkan spasme  jalan nafas,  analgesik,  antitusif  atau  ekspekkoran diberikan  karena  adanya  batuk  menetap  yang melelahkan  perlu  ditekan  untuk menghemat  energi.
b).     Berikan  bantuan  fisioterapi  dada.
Rasional :
Fisioterapi  dada  dilakukan untuk membuang  banyak  sekresi dan memperbaiki  ventilasi  pada segmen  dasar  paru.
c).     Awasi  seri  GDA,  dan  foto  dada.
Rasional :
Sebagai  dasar  pengawasan kemajuan/kemunduran  proses penyakit dan kompilasi.

b.        Kerusakan  pertukaran Gas  berhubungan dengan adanya jebakan udara  pada  paru  dan  kerusakan pada  alveoli.
1).      Intervensi  Mandiri
a).     Kaji  frequensi  kedalaman  pernafasan  catat  penggunaan otot  bantu  nafas,  nafas  bibir.
Rasional :
Berguna  dalam evaluasi  derajat  distres  pernafasan  dan/atau kronisnya  proses  penyakit.
b).     Kaji/awasi  secara rutin  warna kulit  dan membran  mokusa.
Rasional :
Sianosis  mungkin  perifer  atau  sentral  mengindikasikan beratnya  hipoksemia.
c).     Tinggikan  kepala bantu  klien  untuk memilih  posisi yang mudah  untuk  bernafas,  dorong  nafas  dalam perlahan atau nafas  bibir  sesuai  kebutuhan  individu.
Rasional :
Pengiriman oksigen dapat  diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas  untuk  menurunkan  kolaps  jalan nafas  dan kerja  nafas.
d).    Auskultasi bunyi  nafas,  catat  area  penurunan aliran udara  atau  bunyi  abnormal.
Rasional :
Bunyi  nafas  mungkin redup  karena  penurunan  aliran udara. Adanya  mengindikasi  spasme bronkus/tertahannya  sekret.
e).     Awasi  tingkat   kesadaran/status  mental.
Rasional :
Gelisah dan ansietas adalah manifestasi  umum pada hipoksia. GDA  memburuk  disertai  bingung/samnolen  menunjukkan  disfungsi  serebral yang  berhubungan  dengan hipoksemia.
f).      Palpasi  fremitus.
Rasional :
Penurunan  getaran  fibrasi  diduga  adanya pengumpulan cairan atau udara  terjebak.
2).      Intervensi  Kolaborasi
a).     Awasi   GDA.
Rasional :
PaCO2  biasanya  meningkat  dan  PaO2 secara  umum  menurun,  sehingga  hipoksemia  terjadi  dengan derajat  lebih besar  atau lebih kecil.
b).     Berikan  O2  tambahan  yang sesuai  dengan indikasi   hasil  GDA  dan toleransi  pasien.
Rasional :
Dapat  memperbaiki/mencegah  memburuknya  hipoksia.
c).     Bantu  intubasi
Rasional :
Terjadinya/kegagalan  nafas  yang  akan datang  memerlukan upaya  tindakan  penyelamatan  hidup.

c.        Perubahan Nutrisi : kurang  dari  kebutuhan  tubuh  berhubungan dengan anoreksia, mual/muntah.
1).      Intervensi  Mandiri
a).     Kaji  kebiasaan  diet,  masukan  makanan,  catat  derajat  kesulitan  makan. Evaluasi  berat badan.
Rasional :
Pasien distres pernafasan  akut  sering  anoreksia  karena dispneu,  produksi  sputum  dan obat,  selain  itu banyak  klien  PPOM  mempunyai  kebiasaan  makan buruk.  Orang yang  mengalami  emfisema  sering  kurus  dengan perototan kurang.
b).     Auskultasi  bunyi   bising  usus.
Rasional :
Penurunan/hipoaktif  bising  usus  menunjukkan mobilitas gaster  dan  konstipasi (komplikasi  umum)  yang berhubungan dengan pilihan  makan yang buruk,  penurunan  aktivitas  dan hipoksemia.
c).     Berikan  perawatan  oral  sering,  buang  sekret.
Rasional :
Rasa  tak enak bau  dan penampilan adalah pencegah  utama terhadap  nafsu  makan dan dapat  membuat  mual dan muntah  dengan peningkatan  kesulitan  nafas.
d).    Dorong  periode  istirahat  selama 1  jam sebelum  dan sesudah makan.  Berikan  makanan posisi  kecil  tapi  sering.
Rasional :
Membantu  menurunkan kelemahan  selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatan masukan kalori total.
e).     Hindari  makanan  yang sangat  panas  atau  sangat  dingin.
Rasional :
Suhu ekstrim  dapat mencetuskan/meningkatkan  spasme  batuk.
2).      Intervensi  Kolaborasi
a).     Konsul  ahli  gizi/nutrisi  untuk memberikan  makanan yang mudah dicerna,  secara  nutrisi  seimbang.
Rasional :
Metode  makan  dan  kebutuhan  kalori  berdasarkan  pada situasi/kebutuhan  individu  untuk memberikan  nutrisi  maksimal  dengan upaya  klien/penggunaan  energi.
b).     Kaji  pemeriksaan  laboratorium.  Berikan  vitamin/mineral/ elektolit  sesuai  indikasi.
Rasional :
Mengevaluasi/mengatasi   kekurangan  dan  keefektifan  tetap nutrisi.
c).     Beri  O2  tambahan  selama  makan  sesuai  indikasi.
Rasional :
Menurunkan dispneu  dan meningkatkan  energi  untuk makan.

d.       Resiko  tinggi  terhadap  infeksi  berhubungan  dengan proses  penyakit  kronis ;   mal  nutrisi.
1).      Intervensi  Mandiri
a).     Awasi  secara  ketat  suhu  tubuh  pasien.
Rasional :
Demam  dapat terjadi  karena adanya  infeksi.
b).     Kaji  pentingnya  latihan  nafas,  batuk  efektif,  perubahan  posisi  sering  dan  masukan  cairan  adekuat.
Rasional :
Aktivitas diatas dapat  meningkatkan mobilitas  dan pengeluaran sekret  untuk  menurunkan  resiko  terjadinya  infeksi  paru.
c).     Observasi  warna,  karakter,  bau  sputum.
Rasional :
Sekret  berbau,  kuning  dan  kehijauan  menunjukkan  adanya  infeksi  paru.
d).    Dorong  keseimbangan  antara  aktivitas  dan istirahat.
Rasional :
Menurunkan  konsumsi/kebutuhan  keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan  klien  terhadap  infeksi  meningkatkan  penyembuhan.
e).     Diskusikan  kebutuhan masukan  nutrisi  adekuat.
Rasional :
Malnutrisi  dapat mempengaruhi  kesehatan  umum dan menurunkan  tahanan terhadap  infeksi.
2).      Intervensi  Kolaborasi
a).     Dapatkan  spesimen  sputum  dengan batuk  atau  penghisapan untuk  pewarnaan  kuman,  gram, kultur  sensitivitas.
Rasional :
Dilakukan  untuk mengidentifikasi  organisme  penyebab  dan kerentanan  terhadap  berbagai  anti mikrobial.
b).     Berikan  antimikrobial/antibiotik  sesuai  indikasi.
Rasional :
Dapat  diberikan  pada organisme  khusus yang terindentifikasi dengan  kultur  dan sensitivitas, atau  diberikan  secara profilatik  karena resiko  tinggi.

e.        Kurang  pengetahuan (kebutuhan  pelajar)  mengenai  kondisi.  Tindakan berhubungan  dengan kurang  informasi 
1).      Intervensi  Mandiri
a).     Jelaskan/kuatkan  penjelasan  proses  penyakit  individu.
Rasional :
Menurunkan  menguatkan  otot  pernafasan,  dan meminimalkan kolaps  jalan nafas.
b).     Instruksikan/kuatkan  rasional  untuk latihan  nafas  dan batuk  efektif.
Rasional :
Membantu  menguatkan  otot  pernafasan,  dan meminimalkan kolaps  jalan nafas.
c).     Anjurkan  menghindari  agen  sedatif  anti  ansietas  kecuali  diresepkan  oleh dokter  untuk mengobati  kondisi  pernafasan.
Rasional :
Meskipun  pasien  mungkin  gugup  dan merasa perlu  sedatif, ini  dapat menekan  pernafasan  dan melindungi  mekanisme batuk.
d).    Kaji  efek  bahaya  merokok  dan nasehatkan  menghentikan  rokok  pada pasien  dan/atau  orang terdekat.
Rasional :
Penghentian  merokok  dapat  memperlambat/menghambat  kemajuan  PPOM.  Namun  meskipun  pasien ingin  menghentikan merokok,  diperlukan  kelompok  pendukung  dan pengawasan  medik. 
(Doenges,  1999 : 152 – 163).

f.         Intoleransi  aktivitas  berhubungan  dengan keletihan  dan ketidak  adekuatan oksigen  untuk aktivitas.
1).      Intervensi  Mandiri
a).     Jelaskan  aktivitas  dan faktor  yang  meningkatkan  kebutuhan  oksigen :  merokok,  suhu  yang  ekstrim,  stres.
Rasional :
Merokok  suhu  ekstrim,  dan stress  menyebabkan  vasokontriksi yang meningkatkan  beban  kerja  jantung  dan kebutuhan oksigen.
b).     Secara bertahap  tingkatkan aktivitas  harian  sesuai  peningkatan toleransi  klien.
Rasional :
Mempertahankan  pernafasan  lambat  sedang  dari  latihan  yang  diawasi  memperbaiki  kekuatan  otot  asesori  dan  fungsi  pernafasan.
c).     Pertahankan  terapi  oksigen  tambahan,  sesuai  kebutuhan.
Rasional :
Oksigen  tambahan  meningkatkan  kadar  oksigen  yang bersirkulasi  dan memperbaiki  toleransi  aktivitas.
d).    Berikan  dukungan  emosional  dan semangat.
Rasional :
Rasa  takut  terhadap  kesulitan  bernafas  dapat menghambat  peningkatan  aktivitas.

g.        Gangguan  pola  tidur  berhubungan dengan batuk,  rangsang  lingkungan.
1).      Intervensi  :
a).     Kaji  penyebab  ganguan  tidur
Rasional :
Dengan  diketahui  penyebab  gangguan tidur  sehingga mudah menentukan  intervensi  yang tepat  untuk mengatasinya.
b).     Diskusikan  perbedaan  individu  dalam  kebutuhan tidur berdasarkan :  usia,  tingkat aktivitas,  gaya  hidup,  dan tingkat  stres.
Rasional :
Rekomendasi  yang  umum  untuk tidur  8 jam  tiap malam  nyatanya  tidak  mempunyai  dasar  ilmiah.  Individu  yang dapat  rileks  dan istirahat  dengan mudah  memerlukan  sedikit  tidur  untuk merasa  segar  kembali.  Dengan  pertambahan usia,  waktu  tidur  total  secara umum  menurun  khususnya  pada tidur  yang paling  dalam dimana  metabolisme  dan gelombang  otak  lambat.
c).     Anjurkan  klien  untuk  relaksasi.
Rasional :
Tidur  akan  sulit  dicapai  sampai  tercapai  relaksasi.  Lingkungan  rumah sakit  dapat mengganggu  relaksasi.
d).    Bila  diinginkan  tinggikan  kepala tempat  tidur  atau gunakan  penopang  dengan bantal  dibawah lengan.
Rasional :
Dapat  meningkatkan  relaksasi  dan tidur  dengan memberi  ruang pada  paru-paru  lebih besar  pengembangan  melalui  menurunkan  tekanan  keatas  organ abdominal.
e).     Lakukan  tindakan  untuk mengontrol  batuk,  hindari  memberikan  cairan  terlalu  panas  atau  dingin  saat akan tidur.
Rasional :
Tindakan  ini membantu  mencegah  rangsang  batuk dan gangguan tidur.

4.        Evaluasi 
a.        Bersihan  jalan  nafas  tidak efektif  berhubungan  dengan sekresi  yang kental  dan berlebih.
Evaluasi :
1).      Klien  mempertahankan  kepatenan  jalan nafas  dengan bunyi  nafas  bersih.
2).      Perilaku  untuk memperbaiki  bersihan jalan nafas, misalnya : batuk efektif  dan mengeluarkan  sputum/sekret.
b.        Kerusakan  pertukaran  gas  berhubungan dengan adanya jebakan udara pada  paru  dan  kerusakan pada  alveoli.
Evaluasi :
1).      Perbaikan  ventilasi  dan oksigenisasi  jaringan  yang adekuat  dengan GDA  yang normal  dan bebas  gejala  distres pernafasan.
c.        Perubahan  nutrisi :  kurang  dari kebutuhan tubuh  berhubungan dengan anoreksi,  mual/muntah.
Evaluasi :
1).      Adanya  peningkatan  berat badan  menuju  tujuan yang  tepat.
2).      Menunjukkan perilaku/perubahan  pola hidup  untuk meningkatkan atau  mempertahankan  berat  yang  tepat.
d.       Resiko  tinggi  terhadap  infeksi  berhubungan  dengan proses  penyakit  kronis,  mainutrisi.
Evaluasi :
1).      Pemahaman penyebab/faktor  resiko  individu.
2).      Kemampuan  klien  mengindentifikasi  intervensi  untuk mencegah/ menurunkan  resiko  penyakit.
e.        Kurang  pengetahuan (kebutuhan belajar)  mengenai  kondisi,  tindakan berhubungan  dengan kurang informasi.
Evaluasi :
1).      Pemahaman  klien  tentang   kondisi/proses  penyakit  dan tindakan.
2).      Klien  mampu  mengidentifikasi  tanda  dan gejala  dari penyakitnya  serta  faktor  penyebabnya.
3).      Adanya  perubahan  pola hidup  dan partisipasi  dalam program  pengobatan.
(Doenges,  1999 :  152 – 163)
f.         Intoleransi  aktivitas  berhubungan dengan keletihan  dan ketidak adekuatan  oksigen  untuk aktivitas.
Evaluasi :
1).      Klien  memperagakan metode  bernafas  dan  penghematan energi yang  efektif.
2).      Klien  mengindentifikasi  tingkat  aktivitas yang realitas untuk dicapai  atau  dipertahankan.
3).      Menurunnya  keluhan  tentang  nafas  pendek  dan lemah  dalam melaksanakan  aktivitas.
g.        Gangguan pola  tidur  berhubungan dengan batuk, rangsang  lingkungan.
Evaluasi :
1).      Klien  melaporkan  kepuasan  akan keseimbangan istirahat  dan aktivitas.
(Corpenito,  1998 :  112 – 116)

5.        Dokumentasi
a.        Tanda-tanda  vital.
b.        Bunyi  nafas  yang menunjukkan bersihan jalan nafas.
c.        Perkembangan  keefektifan  batuk  dan  gambaran  sputum.
d.       Nilai  GDA  warna kulit  dan membran  mokusa.
e.        Perubahan  berat  badan.
f.         Intake  dan output  Px.
g.        Hematologi  (nilai  lekosit).
h.        Tingkat  aktivitas  klien,  dan  respon  psikologis  terhadap  aktivitas.
i.          Pada  tidur  klien  dan evaluasi  klien  tentang  kuantitas  dan kualitas  tidur.
j.          Penyuluhan  pada klien.


KEPUSTAKAAN

Copstead, Lee-Ellen C, 2000, Pathophisiology : Biological and Behavioral Perspektifves, Edisi 2, Philadelphia : W. B. Sounders Company.
Corwin, Elizabeth J, 2001, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doenges, Marilynn E, et al, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Jakarta:      Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, Artgur C, 1995, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lewis, Sharon Mantik, et al, 2000, Medical Surgical Nursing : Assesment and Menegement of Clinical Problems, Edisi 1,  St. Louis : CV. Mosby Company.
Price, Sylvia A, dan Lorvaine, MW, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Buku 2, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Priharjo, Robert, 1997, Pemeriksaan Fisik Keperawatan, Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare, 2000, Textbook Of Medical Surgical Nursing, Edisi 9, Philadelphia : Lippicott
Soeparman, dkk, 1999, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Staf Pengajar Bagian Patologi Anatomik FKUI, 1998, Patologi, Jakarta : Bagian patologi Anatomi FKUI.
Sutisna, Himawan, 1998, Patologi, Jakarta : Bagian Patologi Anatomik FKUI.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar